PAPAN TULIS “TERAKHIR” PAK RAHMAN
Pagi itu, udara di sekolah terasa berbeda. Matahari baru saja naik, sinarnya memantul di dedaunan mangga di dekat gerbang. Di lapangan, suara langkah kaki guru-guru terdengar bersahutan, sebagian membawa laptop, sebagian membawa buku catatan.
Pak Rahman melangkah pelan. Di tangannya hanya ada sebuah spidol hitam dan buku catatan lusuh yang sampulnya sudah pudar. Umurnya 60 tahun, rambutnya memutih, dan hari itu… adalah hari terakhir ia mengajar.

“Pagi, Pak Rahman,” sapa Bu Rini, guru muda yang sedang menyalakan proyektor.
“Pagi, Bu. Semangat mengajar, ya,” jawabnya sambil tersenyum.
Di ruang guru, ia melihat rekan-rekan sibuk dengan teknologi. Ada yang membuat kuis online, ada yang mengedit video pembelajaran, bahkan ada yang memanfaatkan AI untuk membuat rencana mengajar. Pak Rahman hanya mengamati, diam-diam kagum.
“Zaman memang berubah,” pikirnya, “tapi semoga hati guru tetap sama.”
Bel masuk berbunyi. Langkahnya menuju kelas terdengar mantap, meski di dalam hatinya ada perasaan campur aduk. Murid-murid yang biasanya ramai kini duduk rapi, menunggu. Mereka tahu, ini pertemuan terakhir.
Pak Rahman menulis perlahan di papan tulis:
“Matematika itu logika, tapi hidup itu rasa.”
Lalu ia meletakkan spidol dan memandang murid-muridnya.
“Hari ini, Bapak tidak akan mengajarkan rumus,” katanya, “tapi Bapak mau bercerita tentang menjadi guru… dan menjadi manusia.”
Ia mulai bercerita tentang masa mudanya mengajar dengan papan kapur. Tentang harus menulis ratusan angka setiap hari sampai tangannya pegal. Tentang hujan deras yang ia terobos dengan sepeda motor tua, demi bisa mengajar di sekolah yang jauh.
Ia juga bercerita saat mendengar salah satu muridnya tidak masuk sekolah selama seminggu. “Bapak pergi ke rumahnya. Ternyata, dia harus membantu ibunya jualan di pasar. Dari situ Bapak sadar, menjadi guru bukan hanya mengajar, tapi juga memahami kehidupan murid.”
“Anak-anak,” ujarnya, “teknologi akan terus berubah. Hari ini kalian belajar dengan video, aplikasi, bahkan robot pintar. Tapi ada hal yang tidak boleh hilang: rasa peduli. Karena Rasulullah ﷺ bersabda:
‘Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lain.’ (HR. Ahmad)
Menjadi guru adalah kesempatan untuk menjadi bermanfaat setiap hari. Jangan pernah sia-siakan.”
Pak Rahman menatap satu per satu wajah muridnya.
“Allah juga berfirman dalam Al-Qur’an:
‘Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan.’ (QS. Al-Maidah: 2)
Menjadi guru berarti saling membantu dalam kebaikan, baik di kelas maupun di luar kelas.”
Pelajaran hampir selesai. Seorang murid mengangkat tangan.
“Pak… kalau Bapak pensiun, Bapak mau ngapain?”
Pak Rahman tersenyum. “Bapak akan tetap mengajar. Mungkin bukan di kelas ini, tapi di mana pun ada orang yang mau belajar. Karena guru itu… tidak pernah benar-benar pensiun.”
Bel pulang berbunyi. Murid-murid berdiri dan menghampiri. Mereka bergantian memeluknya, beberapa menahan air mata. Spidol hitam yang ia pegang masih meninggalkan noda di jarinya.
Noda itu, seperti dedikasinya, akan selalu membekas, bukan di papan tulis, tapi di hati setiap murid yang pernah ia ajar.
Pesan cerita:
- Teknologi boleh maju, tapi hati dan kepedulian guru adalah warisan yang abadi.
- Menjadi guru bukan hanya pekerjaan, tetapi ibadah.
- Guru sejati tidak pernah berhenti menginspirasi, bahkan setelah meninggalkan ruang kelas.
TIM LITERASI SEKOLAH