Cahaya Akhlak di Madrasah Madani

Di sebuah desa yang asri, terdapat sebuah sekolah bernama Madrasah Madani. Sekolah ini tidaklah besar, namun dari sinilah banyak anak-anak desa belajar tentang ilmu, iman, dan akhlak. Bangunannya sederhana, hanya beberapa kelas, sebuah mushalla kecil, dan halaman luas yang sering dipakai bermain murid. Dari kesederhanaan itu tumbuhlah semangat yang luar biasa.

Salah satu guru yang paling dihormati adalah Ust. Komar, pengajar Akidah Akhlak. Ia sudah lebih dari lima belas tahun mengajar. Rambutnya mulai memutih, namun langkahnya tetap tegap. Murid-murid mengenalnya sebagai sosok penyabar dan penuh keteladanan. Ia sering berpesan,
“Akidah Akhlak bukan sekadar pelajaran di kelas, tetapi cahaya yang menuntun hati. Jika kalian ingin berakhlak mulia, jangan hanya hafalkan definisinya, tapi biasakan dalam setiap langkah hidup.”

Setiap pagi, Ust. Komar datang lebih awal. Ia kadang membersihkan mushalla atau merapikan sandal murid. Kepada murid-murid yang heran, ia menjawab, “Nak, kebersihan adalah sebagian dari iman. Kalau guru kalian tidak mau memberi teladan, bagaimana mungkin kalian terbiasa melakukannya?”

Beberapa waktu kemudian, hadir guru baru bernama Usth. Maela, juga mengajar Akidah Akhlak. Usianya masih muda, penuh semangat, dan memiliki gaya mengajar berbeda. Ia memanfaatkan teknologi, terutama iPad.

Saat menjelaskan kisah teladan Nabi, ia menampilkan ilustrasi menarik di layar. Ketika membahas akhlak terhadap orang tua, ia memutar video pendek inspiratif. Kadang ia menggunakan aplikasi mind mapping untuk membuat murid lebih mudah memahami materi. Murid-murid begitu antusias, bahkan murid yang biasanya pendiam menjadi lebih aktif.

Namun, sebagian guru senior sempat berbisik, “Apakah pantas Akidah Akhlak diajarkan lewat layar iPad? Bukankah itu bisa membuat murid sibuk menonton, bukan merenung?”

Ust. Komar tidak tergesa menilai. Suatu sore, ia menghampiri Usth. Maela. Dengan bijak ia berkata,
“Usth. Maela, saya senang melihat semangatmu. iPad hanyalah alat, papan tulis hanyalah sarana. Yang menentukan adalah niat hati guru dalam menyampaikan pelajaran. Jika teknologi membuat anak-anak semakin mudah memahami akhlak, maka gunakanlah. Jangan takut, yang penting jangan sampai hakikat akhlak hanya berhenti di layar, ia harus turun ke dalam hati.”

Usth. Maela terharu. Ia merasa diterima dan lebih percaya diri. Sejak saat itu, ia sering berdiskusi dengan Ust. Komar untuk mengombinasikan metode klasik dan modern. Misalnya, ia menayangkan kisah teladan lewat iPad, lalu Ust. Komar menutup dengan nasihat penuh pengalaman. Murid pun belajar dengan seimbang: mereka mendapat pengetahuan dari teknologi sekaligus keteladanan nyata.

Di madrasah itu juga ada Usth. Yulia, guru Bahasa Inggris. Awalnya, murid-murid menganggap pelajarannya agak asing. Pernah seorang murid bertanya polos, “Usth, kenapa kita harus belajar bahasa Inggris? Bukankah cukup bahasa Indonesia dan Arab?”

Usth. Yulia tersenyum lalu menjawab,
“Anak-anak, bahasa itu jendela. Dengan bahasa Inggris, kalian bisa membaca ilmu dari seluruh dunia. Tapi ingat, bahasa hanyalah alat. Akhlak tetap pondasinya. Apa gunanya pandai berbicara, kalau lisannya digunakan untuk menyakiti?”

Mendengar itu, murid-murid mulai mengerti. Bahkan, Usth. Yulia sering menyelipkan nilai akhlak ke dalam pembelajarannya. Saat mengajarkan kata honesty, ia langsung mengaitkannya dengan pentingnya kejujuran dalam Islam.

Hari-hari berjalan. Madrasah Madani menjadi tempat di mana murid belajar dari perpaduan tiga kekuatan:

  • Keteladanan klasik Ust. Komar
  • Inovasi teknologi Usth. Maela
  • Wawasan global Usth. Yulia

Suatu ketika, madrasah mengadakan lomba bertema “Akhlak Membentuk Peradaban”. Murid-murid menampilkan drama dengan tiga bahasa: Indonesia, Arab, dan Inggris. Ada yang memanfaatkan iPad untuk menayangkan slide, ada yang menampilkan kisah langsung dari kitab, ada pula yang menutup dengan doa.

Setelah semua tampil, Usth. Hayati, kepala sekolah Madrasah Madani, berdiri memberikan sambutan. Dengan suara haru ia berkata,
“Anak-anakku, inilah bukti bahwa akhlak bisa menyatu dengan ilmu dan teknologi. Terima kasih kepada Ust. Komar yang menanamkan keteladanan, Usth. Maela yang menghidupkan kelas dengan teknologi, dan Usth. Yulia yang membuka jendela dunia. Semoga sinergi ini menjadi kekuatan Madrasah Madani.”

Mata Ust. Komar berkaca-kaca. Ia sadar, meskipun zaman berubah, akhlak akan tetap menjadi cahaya sepanjang masa. Ia berdoa lirih dalam hati, “Ya Allah, biarlah cahaya akhlak ini hidup abadi lewat murid-murid kami, bahkan setelah kami tiada.”

Terima Kasih sudah membaca, Semoga Bermanfaat
Tim Literasi Sekolah (Kisah di atas, Kolaborasi Kehidupan Nyata dan Khayalan)