PERKEMBANGAN PESANTREN DALAM KEHIDUPAN PENDIDIKAN MASYARAKAT INDONESIA

Nama Penulis: Moh. Dharmawan Hidayat, S.Pd.I
Email: hidayatmohdharmawan@gmail.com
Tanggal Pembuatan: 1 Oktober 2022

Berkembangnya Islam di Indonesia tak bisa dipisahkan dengan keberadaan pondok pesantren. Lembaga pendidikan Islam Nusantara ini terus berkembang dengan aneka “varian”, ada yang tradisional, ada yang modern, ada pula yang memadukan keduanya, namun tetap tidak meninggalkan akarnya, yakni menekankan pendidikan agama dan akhlakul karimah.

Pondok pesantren adalah lembaga pendidikan khas Nusantara, bisa dilihat dari nama-nama pondok pesantren legendaris yang rata-rata tak menggunakan bahasa asing. Sebut saja Pondok Pesantren Lirboyo, Tremas, Tebuireng, Sidogiri, Buntet, Genggong, atau Langitan. Ada yang namanya menggunakan bahasa asing (Arab) tapi tetap penyebutannya di mata masyarakat kental Nusantara misalnya Pondok Pesantren Sarang, Pesantren Ploso, Pesantren Asembagus atau Pesantren Denanyar. Bukan berarti ulama Nusantara alergi dengan nama berbahasa Arab. Rata-rata nama pondok pesantren Nusantara menggunakan bahasa Arab, namun ada ciri khas, yakni kalimatnya selalu mengandung hikmah, misalnya Darul Ulum, Nurul Jadid, Miftahul Ulum, Mamba’ul ‘Ulum, Darussalam atau Riyadlus Shalihin, jarang menggunakan nama-nama yang “berat”. Kalaupun pesantren menggunakan nama seseorang, umumnya lebih memilih menisbatkan pada sosok Wali Songo atau ulama lokal karena dirasa lebih membumi.

Jati diri pondok pesantren adalah inklusif, terbuka terhadap modernitas dan ramah terhadap tradisi lokal, keberadaannya berbaur dengan masyarakat sekitar, dan selalu membuka komunikasi dengan pemerintah atau Umara’. Selain sebagai lembaga pendidikan, pondok pesantren juga berperan sebagai lembaga sosial. Banyak pondok pesantren yang bergerak di bidang sosial mangasuh anak-anak yatim dan menyantuni kaum lemah. Perkembangan terkini pondok pesantren mulai banyak yang terlibat menggerakkan ekonomi umat, contohnya Pondok Pesantren Sidogiri Pasuruan dengan Koperasi Pesantren, juga bertumpu pula pada pengembangan lembaga keuangan mikro Syari’ah yaitu Baitul Maal wa Tamwil; Pondok Pesantren Al-Amin Prenduan yang mendayagunakan ekonomi bahari di Pulau Madura, Pondok Pesantren Al-Ittifaq Bandung yang mengembangkan budidaya agribisnis, Pondok Pesantren Ar-Risalah Ciamis yang mengembangkan perikanan dan masih banyak lagi yang lainnya. Oleh sebab itu keberadaan pondok pesantren selalu diterima oleh masyarakat, karena selalu membawa manfaat.

Aktivitas para santri di dalam lingkup pondok pesantren sangat padat. Ada dua jenis kegiatan inti di dalam pesantren. Pertama, kegiatan Ma’hadiyyah, yakni kegiatan yang diselenggarakan di lingkup pesantren seperti kajian kitab-kitab salaf yang diasuh langsung oleh pengasuh/kiai pesantren dan ustadz-ustadz senior, shalat berjamaah, shalat sunnah, istighotsah, tahfidz (hafalan), kegiatan bahtsul masa’il yaitu diskusi membahas permasalahan agama, dan banyak lagi. Kedua, kegiatan Madrasiyyah, adalah kegiatan belajar pengajar klasikal di dalam madrasah diniyah, yang memiliki jenjang pendidikan mulai Ibtida’iyyah (dasar), Tsanawiyyah/Wustha (tengah) hingga ‘Aliyah/’Ulya (tinggi) dengan menerapkan kurikulum pesantren, seperti hukum Islam (fiqih), hadits, tafsir Al-Qur’an, gramatika bahasa Arab (Nahwu-Sharaf), akhlak, tasawuf sampai sastra Arab. Untuk menempuh keseluruhannya dibutuhkan bertahun-tahun lamanya. Belum lagi kegiatan kursus-kursus dan ekstra lainnya.

Makanya aneh jika ada pihak yang mengkaitkan pondok pesantren dengan ekstremisme. Di pesantren tidak ada kurikulum merakit bom atau belajar menggunakan senjata api. Tuduhan ini mungkin karena pengetahuan yang bersangkutan tentang pesantren nihil. Atau bisa jadi akibat ulah segelintir kaum yang memanfaatkan kelonggaran mendirikan lembaga pesantren lalu dijadikan sebagai kedok untuk menyalurkan praktik beragama yang ekstrem. Pesantren model seperti ini umumnya tertutup dari masyarakat sehingga patut dikatakan pesantren “abal-abal”, mendompleng nama besar institusi pesantren untuk kelompoknya yang segelintir.

Pesantren yang keberadaannya tertutup dari masyarakat bukanlah pesantren yang sebenarnya, sebab pesantren yang hakiki berdirinya tidak lepas dari sumbangsih masyarakat, dibuktikan masyarakat sekitar yang mempercayakan buah hatinya dididik di Pesantren tersebut dan keberadaannya diakui oleh pemerintah setempat.

Di pondok pesantren ajaran Islam disampaikan secara transformatif, bukan melalui doktrin. Diskusi dan kajian kitab yang berat pun disampaikan dengan suasana cair, diselingi humor dan tidak kaku. Di pesantren keragaman khazanah pendapat para ulama yang bertebaran dalam kitab-kitab ditelaah, sehingga para santri sedari awal sudah mengenal dengan perbedaan tafsir.

Mayoritas Pondok Pesantren saat ini memiliki unit pendidikan formal, semua ini demi memenuhi kebutuhan masyarakat akan pentingnya pendidikan, meskipun ini sebenarya tanggung jawab negara. Banyak unit pendidikan formal didirikan secara mandiri oleh pondok pesantren mulai dari taman kanak-kanak sampai perguruan tinggi. Unit-unit pendidikan formal tersebut menggunakan kurikulum Pemerintah (Kementrian Agama atau Kementrian Pendidikan) sebagaimana umumnya. Tenaga pengajarnya kebanyakan dari masyarakat sekitar Pesantren.

Pemerintah RI telah menetapkan tanggal 22 Oktober sebagai Hari Santri Nasional, ini meneguhkan bahwa pondok pesantren tak hanya bagian dari Islam, tapi juga bagian dari Indonesia.

  1. Asal-Usul Pesantren

Terdapat perbedaan pendapat di kalangan cendekiawan dan peneliti mengenai asal-usul lembaga ini. Diantaranya dikatakan bahwa asal usul pesantren bisa dilacak kepada kebudayaan Hindu-Buddha yang dominan di Indonesia sebelum masuknya Islam. Yang lain berpendapat, asal-usul pesantren dalam Islam karena Rasulullah Saw sebelum dinobatkan menjadi Nabi dan sebelum terang-terangan melakukan dakwah, beliau membentuk sekelompok pelopor yang melakukan pertemuan-pertemuan di kediaman Al-Arqam bin Abi al-Arqam. Barangkali tempat pertemuan pertama untuk bermusyawarah mengenai masalah-masalah agama dalam sejarah Islam adalah kediaman Al-Arqam ini yang kemudian menjadi sumber inspirasi bagi pembentukan ribath dan halaqah-halaqah yang selanjutnya melembaga dalam tradisi masyarakat Islam.

Di Indonesia, pesantren berakar pada prakarsa Wali Songo dalam menyebarkan Islam dan mendirikan ribath dan halaqah-halaqah sebagai sarana pendidikan untuk mengajarkan agama Islam. Maulana Malik Ibrahim yang dikenal sebagai Syaikh dan pembimbing Wali Songo (w. 1419 M/828 H) begitu tiba di gresik segera membangun masjid yang dikelilingi rumah-rumah kaum Muslim dan melakukan pengajian-pengajian di dalamnya. Kegiatan seperti ini kemudian melembaga dan berkembang menjadi pesantren.

Tatkala raja Muslim pertama naik tahta di Jawa pada 1478-1546, pesantren berkembang pesat karena didirikan di setiap wilayah yang diasuh oleh masing-masing anggota-anggota Wali Songo itu sendiri. Barangkali motivasi yang mendorong kemajuan tersebut adalah bahwa raja itu sendiri memperoleh pendidikan di pesantren. Pada periode ini pesantren menyaksikan maraknya kegiatan pendidikan sehingga Pulau Jawa menjadi salah satu pusat pendidikan Islam menyamai pusat-pusat Islam lainnya di Sumatra.

Begitulah awal keberadaan pesantren dan proses perkembangannya hingga menjadi warisan dari generasi ke generasi dengan segala sistem, karakteristik, dan keunikannya sampai sekarang dengan jumlah pesantren, menurut statistik Geertz pada 1970-an mencapai sekitar 250.000 buah. Kenyataan yang tak dapat dipungkiri bahwa pesantren dalam tahap-tahap perkembangannya telah memberi konstribusi dalam penyebaran ajaran Islam berhaluan Ahl as-Sunnah wa al-jama’ah dan mempertahankannya dari ajaran-ajaran yang berlawanan.

  • Pendidikan Pesantren di Tengah Modernitas

Pilihan yang cukup rasional pada masa sekarang ini adalah menempatkan pesantren sebagai salah satu institusi pendidikan yang berorientasi global. Selama ini persepsi atas globalisasi, sebagai bagian dari dampak modernisasi, memang selalu dikaitkan dan mengacu kepada transformasi institusional yang berasal dari barat. Persepsi ini tidak seluruhnya benar. Sebab dalam dunia pesantren, isu-isu moderniitas tidak lepas dari semangat untuk selalu berkreasi dan berinovasi. Paradigmanya adalah “al-muhafadzah ‘ala al-qdim ash-shalih wal akhdzu bil jadid al-ashlah” (memelihara yang lama yang baik, dan mengambil sesuatu yang baru yang lebih baik). Maka, pesantren harus melihat bahwa realitas dunia yang semakin modern dan mengglobal itu merupakan gejala yang alami (sunnatullah).

Jika pada masa lalu pendidikan di pesantren menempatkan tradisi sebagai proyek besarnya, maka pada masa kini pendidikan di pesantren harus mampu menjawab tantangan modernitas. Sinergi tradisi dan modernitas adalah proyek pendidikan pesantren pada masa depan. Artinya, pendidikan pesantren masa depan adalah pendidikan yang berorientasi pada modernitas dengan tetap berpijak pada tradisi. Jika modernitas di Barat mengklaim tidak banyak memiliki keterkaitan dengan periode sebelumnya atau dengan setting budaya lain, maka modernitas pesantren merupakan mata rantai dari sebuah gugusan peradaban Islam sebelumnya.

Sinergi tradisi dan modernitas bukanlah sebuah utopia karena pada dasarnya keduanya merupakan respon atas realitas. Sekarang ini sebenarnya telah berlangsung proses dialektika antara tradisi dan modernitas, terutama di lingkungan pesantren yang masih kuat mengusung tradisi. Pesantren tersebut pada masa yang akan datang bukan tidak mungkin menjelma menjadi sebuah institusi yang dapat diandalkan di bidang ilmu pengetahuan Islam sekaligus penguasaannya di bidang teknologi. Pesantren tidaklah apatis terhadap modernitas karena pada dasarnya modernitas itu bersifat global dan bukan monopoli kelompok tertentu. Artinya, pesantren tradisional yang modern adalah sebuah kekuatan yang luar biasa. Oleh karena itu, kesalahan besar bangsa Eropa adalah ketika ia memberikan citra buruk atas tradisi ketika mereka memasuki masa pencerahan pada abad ke-18.

  • Pendidikan Pesantren dan Tantangan Global

Pendidikan pesantren menjadi bagian tak terpisahkan dari sejarah panjang umat Islam di Indonesia. Pada masa-masa sulit, yaitu jauh sebelum kemerdekaan, dan masa revolusi mempertahankan kemerdekaan yang baru dicapai negara-bangsa Indonesia, banyak pesantren yang telah berdiri di Indonesia. Berdirinya pesantren pada masa-masa tersebut pastilah merupakan peristiwa luar biasa.

Sekitar 20 tahun pertama masa kekuasaan Orde Baru, hubungan yang kurang mulus antara umat Islam dan pemerintahan Presiden Soeharto membuat pesantren tetap berada di pinggir. Meski demikian, sejak 1970-an, sebagai konsekuensi dari developmentalism Orde Baru, pesantren juga mulai mengalami modernisasi, tegasnya sejak Mukti Ali menjabat Menteri Agama. Entry point modernisasi pesantren itu adalah SKB Tiga Menteri (Menteri Agama, Menteri P & K, dan Menteri Dalam Negeri) No. 6 Tahun 1975 yang menggariskan agar madrasah –yang tentu saja terdapat di pesantren umumnya– pada semua jenjang sama posisinya dengan sekolah umum; dan untuk itu, kurikulum madrasah harus 70 persen pelajaran umum dan 30 persen pelajaran agama.

SKB Tiga Menteri ini merupakan salah satu tonggak terpenting dalam integrasi pendidikan Islam ke dalam mainstream pendidikan Nasional, dan sekaligus peningkatan kualitas SDM yang belajar pada lembaga pendidikan Islam. Lebih jauh lagi, Kebijakan Tiga Menteri ini merupakan langkah awal bagi reintegrasi ilmu-ilmu agama dan ilmu umum.

Meski Kebijakan Tiga Menteri ini semula mendapat tantangan dari kalangan pengelola pendidikan Islam –Pesantren dan Madrasah \– tetapi gelindingan modernisasi madrasah dan pesantren sudah tidak bisa dimundurkan lagi. Dalam gelindingan modernisasi itu, madrasah dan pesantren berhadapan dengan krisis identitas yang memang sejak semula sudah dikhawatirkan mereka yang menentang kebijakan tersebut. Argumen mereka, muatan pelajaran umum yang begitu besar dapat menghilangkan misi, substansi, dan karakter pendidikan Islam itu sendiri. Pergulatan identitas ini masih terus berlanjut sampai sekarang. Sistem pendidikan Islam sering sekali masih bergulat di antara academic expectation, harapan untuk keunggulan akademis dan mutu pendidikan sebagai lembaga pendidikan, dengan social expectation, harapan sosial umat Islam bahwa lembaga pendidikan Islam memikul tugas pembinaan anak umat sebagai lembaga dakwah.

Tetapi, sekali lagi, modernisasi pendidikan Islam –khususnya pesantren– tampaknya sudah menjadi keharusan sejarah. Dan, modernisasi itu akhirnya dikukuhkan dengan UUSPN 1989 yang selain secara umum mengakui sistem pendidikan Islam, tetapi juga menetapkan madrasah ekuivalen dengan sekolah umum. Bahkan, madrasah pada dasarnya adalah sekolah umum yang memiliki ciri keagamaan (Islam). Tetapi, bagaimana perumusan ciri, nuansa, atau karakter Islam itu, sampai sekarang masih merupakan agenda yang belum terselesaikan.

Kini, sementara proses modernisasi pendidikan Islam masih jauh daripada selesai tantangan baru yang bersifat global telah hadir pula. Tantangan global itu–dalam bentuk globalisasi dan globalisme–menyangkut tidak hanya bidang ekonoi, politik, dan informasi, tetapi juga dalam bidang pendidikan. Pendidikan Islam, khususnya, pesantren–yang sekali lagi bukan hanya merupakan lembaga pendidikan, tetapi juga lembaga dakwah–juga tidak luput dari tantangan globalisasi. Karena itu, tampaknya penting bagi kita memahami apa sebenarnya globalisasi; tantangan apa yang dihadirkannya terhadap dunia pendidikan, khususnya pendidikan Islam–dalam hal ini pesantren; dan bagaimana pesantren seharusnya merespon tantangan globalisasi tersebut.

Pada tingkat nasional, respon dunia pendidikan terhadap globalisasi menjadi wacana sejak awal 1990-an, dan menemukan momentum melalui perumusan paradigma baru pendidikan nasional selaras reformasi nasional berikutan jatuhnya Presiden Soeharto dari kekuasaannya pada Mei 1998. Dalam rumusan “Arah Pandangan Dasar Pendidikan Nasional” yang tercakup dalam Paradigma Baru Pendidikan Nasional itu dikemukakan 10 kerangka acuan, antara lain:

“Pendidikan dengan prinsip global. Pendidikan harus mampu berperan dan menyiapkan peserta didik dalam konstalasi masyarakat global. Dalam pendidikan berwawasan global itu… pada waktu yang sama pendidikan memiliki kewajiban untuk melestarikan karakter nasional. Meski konsep nation state sudah diragukan… dan bahkan global state yang tidak lagi mengenal tanpa batas (borderless), karena kemajuan teknologi informasi, pembinaan karakter nasional tetap relevan dan bahkan harus dilakukan.”

Akhirnya berbagai kecenderungan perkembangan baru pendidikan yang muncul sebagai dampak atau konsekuensi globalisasi mesti diadopsi sistem pendidikan nasional. Secara ringkas, kenyataan ini tercermin dalam rumusan paradigma baru pendidikan nasional yang mencakup arah sebagai berikut: desentralistik (otonom); kebijakan bottom up; orientasi pendidikan holistik untuk pengembangan kesadaran bersatu dalam kemajemukan budaya (multikulturalisme), menjunjung tinggi nilai moral, kemanusiaan dan agama, kesadaran kreatif, produktif; dan kesadaran hukum; peningkatan peran serta masyarakat secara kualitatif dan kuantitatif; dan pemberdayaan institusi masyarakat–keluarga, LSM, pesantren, dan dunia usaha.

Selanjutnya paradigma baru pendidikan nasional itu menggariskan prinsip-prinsip yang terkandung dalam arah baru pengembangan pendidikan nasional, yaitu:

  1. Kesetaraan perlakuan sektor pendidikan dengan sektor lain;
  2. Pendidikan berorientasi rekonstruksi sosial;
  3. Pendidikan dalam rangka pemberdayaan bangsa;
  4. Pemberdayaan infrastruktur sosial untuk kemajuan pendidikan nasional.
  5. Pembentukan kemandirian dan keberdayaan untuk mencapai keunggulan.
  6. Penciptaan iklim yang kondusif untuk tumbuhnya toleransi dan konsensus dalam kemajemukan.
  7. Perencanaan terpadu secara horizontal (antarsektor) dan vertikal (antarjenjang).
  8. Pendidikan berorientasi peserta didik.
  9. Pendidikan multikultular.
  10. Pendidikan dengan perspektif global.
  • Respon Pesantren

Tantangan global dan globalisasi yang terus menemukan momentumnya sejak akhir milenium lalu, jelas jauh lebih kompleks daripada tantangan yang pernah dihadapi pesantren di masa silam. Kompleksitas tantangan itu menjadi lebih rumit lagi, ketika kita harus mengakui, secara internal pesantren menghadapi berbagai masalah yang masih belum terselesaikan sampai sekarang, khususnya sejak pesantren mengalami modernisasi pada 1970-an.

Tantangan dan masalah internal pesantren pasca-modernisasi dan tantangan globalisasi pada hari ini dan masa depan, secara umum adalah sebagai berikut:

Pertama, jenis pendidikan yang dipilih dan dilaksanakan. Dengan terjadinya perubahan kebijakan dan politik pendidikan sejak tahun 1970-an dan peluang baru seperti diisyaratkan dalam paradigma baru pendidikan nasional, seperti yang dikemukakan di atas, kini pesantren memiliki peluang dan sekaligus tantangan berkenaan dengan jenis pendidikan yang dapat dipilih dan diselenggarakan yang setidak-tidaknya kini menyediakan empat pilihan:

  1. Pendidikan yang berpusat pada tafaqquh fi al-din, seperti tradisi pesantren pada masa pra-modernisasi (pesantren salafiyyah), dengan kurikulum yang hampir sepenuhnya ilmu agama. Di tengah arus modernisasi pesantren belakangan terdapat kecenderungan sejumlah pesantren mempertahankan  atau bahkan kembali kepada karakter salafiyahnya.
  2. Pendidikan madrasah yang mengikuti kurikulum Kemendikbud dan Kemenag. Madrasah semula merupakan pendidikan agama plus umum, tetapi dengan ekuivalensi seperti digariskan UUSPN 1989 adalah sekolah umum berciri agama.
  3. Sekolah Islam yang mengikuti kurikulum Kemendikbud, yang pada dasarnya adalah pendidikan umum plus agama.
  4. Pendidikan keterampilan (vocational training), apakah mengikuti model STM atau MA/SMU keterampilan, atau kini SMK.

Keempat jenis pilihan ini dapat dilaksanakan dalam satu pesantren tertentu. Keempat pilihan ini secara implisit mengakomodasi hampir keseluruhan harapan masyarakat secara sekaligus kepada pesantren. Harapan pertama dan utama adalah agar pesantren tetap menjalankan peran sangat krusialnya dalam tiga hal pokok:

  1. Transmisi ilmu-ilmu dan pengetahuan Islam (transmission of islamic knowledge);
  2. Pemeliharaan tradisi Islam (maitenance of islamic tradition), dan
  3. Reproduksi (calon-calon) ulama (reproduction of ‘ulama’).

Harapan kedua adalah agar para santri tidak hanya mengetahui ilmu agama, tetapi juga ilmu umum. Dengan demikian, dapat melakukan mobilitas pendidikan. Dan harapan ketiga, agar para santri memiliki keterampilan, keahlian atau lifeskills–khususnya dalam bidang sains dan teknologi yang menjadi karakter dan ciri masa globalisasi–yang membuat mereka memiliki dasar competitive advantage dalam lapangan kerja, seperti dituntut di alam globalisasi.

Pengembangan competitive advantage dan competitive edge di dunia pesantren jelas bukan hal mudah. Pengembangan itu, bukan hanya memerlukan penyediaan SDM guru yang qualified, laboratorium/bengkel kerja dan hardware lain, tetapi juga perubahan sikap teologis dan budaya. Bukan rahasia lagi, paham teologis yang dominan di kalangan pesantren masih cenderung meminggirkan ilmu yang berkenaan dengan sains dan teknologi, karena secara epistemologis tidak atau kurang sah, karena sains dan teknologi merupakan produk rasio dan pengujian empiris. Lebih jauh, budaya sains dan teknologi masih kurang mendapat tempat dalam masyarakat kita umumnya.

Tetapi sekali lagi, mengambil keseluruhan pilihan jenis pendidikan tadi jelas mengandung berbagai kesulitan dan dilema tertentu bagi pesantren. Kesulitan itu terletak bukan hanya pada keterbatasan kapasitas kelembagaan, tetapi juga karena masih lemahnya SDM yang qualified dalam proses pembelajaran. karena itu, langkah paling realistis adalah mengambil satu atau dua pilihan itu; sementara sedikit banyak berusaha mengakomodasi pilihan lainnya.

Kedua, berkaitan dengan masalah pertama di atas adalah persoalan identitas diri pesantren. Pada stu segi, pengakuan atas dan penyetaraan pendidikan yang berlangsung di pesantren yang telah membuka berbagai peluang bagi penyelenggaraan berbagai jenis pendidikan di pesantren. Tetapi pengambilan pilihan-pilihan tadi bisa jadi dapat mengorbankan identitas pesantren sebagaimana telah terpatri di dalam masyarakat. Di sini terjadi perbenturan antara social expectations dan academic expectations. Tidak hanya itu, keterlibatan pesantren dalam program non-kependidikan seperti pengembangan pesantren sebagai pusat koperasi, pusat pengembangan teknologi tepat guna bagi pedesaan, pusat pengembangan pertanian dan peternakan, pusat penyelamatan lingkungan hidup, pusat pengembangan HAM dan demokrasi, dan sebagainya juga dapat mengaburkan identitas pesantren.

Lebih jauh, paradigma baru pendidikan nasional juga sangat menekankan pesantren sebagai pendidikan berbasiskan masyarakat (community based education) selama berabad-abad. Pada satu segi, pengakuan ini merupaakan perkembangan positif, khususnya menyangkut eksistensi pendidikan pesantren itu sendiri. Tetapi, pada segi lain, pengakuan itu secara implisit menuntut peran lebih besar masyarakat dalam pendidikan pesantren. Masyarakat kini dituntut tidak hanya mendirikan bangunan fisik dan perangkat pokok pesantren, tetapi lebih-lebih lagi dalam mengembangkannya menjadi pendidikan berkualitas (quality education) untuk menyiapkan peserta didik yang memiliki–setidak-tidaknya dasar-dasar–keunggulan kompetitif tersebut. Di sini, masyarakat pendukung pesantren diharapkan dapat menyediakan berbagai pra-sarana dan sarana pendukung lebih memadai bagi terselenggaranya pendidikan yang mampu mendorong penanaman dasar-dasar keunggulan kompetitif tersebut.

Ketiga, penguatan kelembagaan dan manajemen. Perubahan kebijakan pendidikan nasional–misalnya yang menekankan pada peran pesantren sebagai community based education–dan tantangan global mengharuskan pesantren memperkuat dan memberdayakan kelembagaannya. UU yayasan juga menghendaki pesantren meninjau dan merumuskan kembali kelembagaan pesantren dan hubungannya dengan para pelaksana kependidikan; madrasah dan/atau sekolah. Kelembagaan pesantren haruslah bertitik tolak pada prinsip kemandirian (otonom), akuntabilkitas dan kredibilitas.

Dalam mewujudkan quality education, pesantren seyogianya memberikan ruang gerak lebih besar kepada para pelaksana pendidikan, khususnya kepada madrasah atau kepala sekolah agar: Pertama, dapat mengorganisasi dan memberdayakan sumber daya  yang ada untuk memberikan dukungan memadai bagi terselenggaranya proses belajar mengajar yang maksimal, bahan pengajaran yang cukup, dan pemeliharaan fasilitas yang baik. Kedua, dapat berkomunikasi secara teratur dengan kepemimpinan pesantren (dan/atau yayasan), guru, staf, orang tua, masyarakat, dan pemerintah setempat. Selanjutnya, pesantren mestilah dikelola dengan manajemen modern sehingga pendidikan yang diselenggrakannya dapat lebih efisien dan efektif. Prinsip-prinsip manajemen modern seperti total quality management (TQM) atau corporate good governance yang sudah mulai diterapkan pada sementara lembaga pendidikan lain, agaknya dapat pula mulai dikaji di lingkungan pesantren.